MISTERI
PENCULIKAN DARI DUNIA FIKTIF
Part 1
Baju
dan kolor yang tergeletak disana-sini, sekumpulan bon hutang yang menempel
tegas di tembok serta kaleng-kaleng minuman bekas yang belum juga dibuang ke
kotak sampah menjadi pemandangan rutin yang memang selalu tampak di kosan Ujang.
Sambil merapihkan rambutnya yang ikal, Ujang bercerita ke Dio tentang kasus
yang diselesaikannya dengan cepat sekitar seminggu yang lalu. Iya, Ujang selalu
memamerkan kemampuannya itu ke Dio. Tapi begitulah Ujang, selalu ceplas-ceplos
dan mengutarakan kebolehannya kalau lagi dirundung kebosanan.
Merasa
celotehan Ujang itu enggak ada manfaatnya, Dio langsung tiduran dan perlahan
menutup matanya yang sipit. Ia merasa enggak perlu lagi meneruskan meladeni
cerita Ujang yang ujung-ujungnya pasti terdengar keren. Namun, suara langkah
kaki yang berat di tangga membuat Dio mengurungkan niatnya untuk tidur.
Sementara, Ujang bersiap menghidupkan rokoknya yang tinggal sebatang.
Enggak
lama kemudian seorang pria paruh baya berperawakan tinggi besar, berkumis lebat
dan memiliki rambut yang panjangnya seleher berdiri di depan pintu kamar kosan
Ujang yang menganga lebar. “Permisi numpang tanya ya, ini kosan Ujang yang
biasa nanganin kasus-kasus aneh gitu bukan?” tanyanya sambil memandangi Ujang
dan Dio bergantian.
Ujang
merespon ucapan itu dengan senyuman. Ia lalu berdiri dan menjabat tangan calon
kliennya itu, “Iya, saya Ujang dan itu… yang gak ada rambutnya adalah Dio,
teman sekaligus asisten saya. Oh iya, kok anda bisa masuk ya?”
“Iya,
saya lihat tadi pagarnya terbuka, jadi saya masuk aja.”
Ujang
menghisap rokok dan membuang asapnya ke atas, “Wah, Bapak memang klien yang gak
tau malu, jangan gitu lagi ya Pak… nanti anda dikira mau nyolong motor,”
sambungnya.
“…………”
“Nama
Bapak siapa?”
“Saya
Rudi Gunawan. Panggil aja Pak Rudi.”
Ujang
mengangguk, “Oh, saya baru ingat. Anda ini aktor laga kan? Yang suka ngalahin
musuhnya sambil ngendarain naga?” lanjutnya sambil memegang bahu kiri Pak Rudi.
“Iya
benar. Wah, ternyata saya masih dikenal ya, hahaha…”
Pak
Rudi kemudian masuk dan duduk di sofa kecil berwarna coklat, tempat biasa klien
di interview sama Ujang. Berbeda dari kliennya, Ujang malah duduk lesehan di
lantai bareng Dio.
Sambil
membuang abu rokoknya ke asbak, Ujang bertanya, “Jadi, apa masalah anda? Anda
tau kan saya gak nanganin kasus ejakulasi dini?”
“Hampir
benar sih….,” jawab Pak Rudi datar.
Ujang
kaget, matanya membelalak, “Kenapa gak ke klinik aja sih, Pak?” tanyanya
sedikit kecewa.
“Hah?
Bukan itu, maksud saya hampir benar itu cuman di kata dini-nya aja. Dini itu
adalah anak saya. Dia sudah menghilang sejak empat hari yang lalu.”
“Ooooooooooo….,”
Ujang dan Dio mengelus dada.
Sesuai
perintah Ujang, Dio lalu beranjak dari duduknya untuk mengambil sebuah note
kecil dan pena yang ada di atas meja komputer. Seperti biasa, ia akan mencatat
segala perkataan sang klien. Sedangkan di sisi lain, Ujang duduk bersila
sembari menatap Pak Rudi dengan tampangnya yang pas-pasan.
“Emm,
waktu terakhir kali Bapak liat, si Dini itu lagi ngapain?” Ujang mulai
mengeluarkan kekepoannya.
Pak
Rudi enggak langsung menjawab. Ia merubah posisi duduknya sedikit maju ke depan
terlebih dahulu, “Setahu saya, Dini lagi main sama temannya.
Namanya…. Ikhsan.”
“Oh
gitu, Dini umurnya berapa, Pak?”
“Baru
9 tahun.”
“Hmm,
masih kecil ya... catat Dio, itu penting! Terus, si Ikhsan umurnya berapa Pak?”
“Eee,
kurang lebih sama. Iya, mereka itu seangkatan-lah..”
“Oh,
bagus deh. Terus, Bapak udah nanya ke Ikhsan?”
“Sudah
sih, tapi….,” Pak Rudi tampak ragu.
“Tapi
apa, Pak?”
“Katanya,
dia sama Dini tuh ngeliat sebuah dunia fantasi dimana tumbuh-tumbuhan dan
pepohonan bisa jalan, kayak hidup gitu. Lalu…. Dini berlari menghampiri orang utan
yang bisa bicara, orang utan itulah yang menculik Dini.”
“Orang
utan? Ngomong apa tuh orang utan?”
“Emm,
kata Ikhsan sih orang utan itu nyuruh Dini untuk mendekat. Pas udah dekat,
orang utan itu langsung menggendongnya lalu membawa Dini entah kemana. Nah,
anehnya, Dini sama sekali gak berontak.”
“Lah,
kenapa Ikhsan gak coba nolongin Dini?”
“Soalnya
Dia pikir orang utan itu baik. Tapi setelah ditunggu-tunggu, bahkan sampai Ikhsan
tertidur, Dini belum juga datang dan tiba-tiba kondisi sekitar normal lagi.”
Ujang
menempelkan telunjuk dan jempolnya ke dagunya yang rada lancip. Ia tampak serius
memikirkan apa yang baru saja dikatakan Pak Rudi. Saking seriusnya, Ujang
mengabaikan lalat yang lagi hinggap di hidungnya yang mancung. Sementara, Dio
mencatat apa yang dikatakan Pak Rudi dengan penuh semangat. Dio senang temannya
yang songong itu lagi berkutat dengan kebingungan tingkat tinggi.
“Terus
si Ikhsan itu tetanggaan sama Bapak atau gak?” tanya Ujang.
“Tetangga
saya, rumahnya deket kok.”
“Oke
deh kalo gitu, alamat Bapak dimana?”
“Jalan
Gurame nomor 30A.”
“Sip,
nanti siang saya dan Dio ke rumah Bapak. Yaaa… sekitar jam 2-an deh. Bapak ada
di rumah gak nanti?”
“Sebenarnya
saya nanti ada acara, tapi demi anak saya urungkan deh. Asal anda berhasil
menemukan putri saya satu-satunya itu.”
“Sip.
Sekarang Bapak boleh pulang.”
“Baiklah
kalau begitu,” Pak Rudi bangkit dari duduknya. Ia menjabat tangan Ujang dan Dio
bergantian lalu melesat pergi.
Setelah
itu, Ujang cuman menghabiskan waktu pagi dengan menghisap rokok sambil
menyeruput kopi. Sedangkan, Dio masih kebingungan. Ia bingung kenapa Ujang
menginterview Pak Rudi dengan singkat. Ini baru pertama kalinya. Penasaran, Dio
langsung bertanya ke Ujang, “Jang, kok tadi singkat banget sih?”
“Singkat
apanya?” Ujang menghembuskan asap rokok ke udara.
“Nge-interview
klien tadi lah oon!”
“Oh
itu… Yah, gak ada yang bisa dikorek lagi. Gue mau nanya ke anak yang bernama
Ikhsan itu dulu. Abis tuh baru deh gue mikirin kemungkinan lain.”
“Gitu
ya. Jadi entar siang kita kesana, Jang?”
“Hooh,
ada beberapa kemungkinan di dalem otak gue sekarang. Lo percaya gak, ada dunia
fantasi yang diceritakan novel-novel fiksi gitu? Terus, lo percaya gak kalo
orang utan bisa ngomong?”
“Ya
gak lah, Jang. Tapi bisa jadi itu siluman orang utan, Jang. Kayak di film-film
horor gitu yang ada siluman ularnya.”
“Apaan
sih, kebanyakan nonton film horor Dewi Persik sih lu.. Udah ah, main game dulu
yuk... Masih ada sekitar 3 jam lagi sebelum kita ke rumah Pak Rudi nih.”
“Hayuk,
yang kalah traktir gorengan ya, Jang,” Dio mengedipkan mata kanannya sambil
nyolek lengan kiri Ujang.
“Oke,
siapa takut. Tapi, kalo gue kalah, gue traktir lo pake duit lo dulu ya.. Entar
kalo hutang-hutang gue yang lainnya udah lunas, baru gue bayar ke lo..”
“………"
wah berbakat menulis fiksi rupanya :-)
ReplyDeleteMasih ngasah nulis fiksi di blog.. :D
DeleteHemm. Jadi, Dini-nya hilang entah ke mana ya. Dibawa naga yang sering dinaiki Pak Rudi kali, ya :D. Haha...
ReplyDeleteEh, Feb, di bagian ini, ada yang ganjil gag sih?
"Saking seriusnya, Ujang menghiraukan lalat yang lagi hinggap di hidungnya yang mancung." Kayaknya kurang 'Ujang tidak menghiraukan', deh :D.
Btw, ceritanya bikin penasaran nih :D (y)
Oh iya, oke makasih ya.. udah di revisi. :)
Deletewah.. diterbitin juga toh oom?
ReplyDeletekirain ane ecucip..ngga bakal di posting di blog
ecucip apaan om? haha..
Deleteecucip means exclusive... you know?! otpedomeh kowe inglander busuk!!
Deletekereen nih, ditunggu deh part selanjutnyaah :D
ReplyDeleteWokeh, thanks-thanks.. :D
Deletengomen lagi ah, bleh..
ReplyDeleteWkwkwkwk... stresss!! :D
Delete