Buat para pembaca blog gue, baik yang udah sering mampir atau pun yang tersesat, di postingan kali ini gue cuman mau minta temen-temen nge-review naskah novel (rencananya) gue sama temen gue Riyan Hasanin. Naskah ini genrenya Romance Komedi untuk remaja-remaja getoh. Semuanya ada 15 BAB plus intro dan epilog, tapi di blog ini gue kasih lihat intro sampai bab 1 aja. Tanpa basa-bisi lagi, di bawah ini demonya:
INTRO
Tiga tahun yang lalu.
Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat bertemu di hari terakhir Ospek SMA Bhakti Bangsa. Kebetulan, di hari itu mereka berempat datang terlambat dari jadwal yang sudah di tetapkan oleh panitia Ospek. Dan, sebagai konsekuensinya, Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat harus menerima hukuman.
“Kenapa kalian sampai telat, hah!?” teriak salah satu Panitia Ospek yang sok galak.
“G-g-gue... k-ke-kena m-macet kak...” jawab Mamat gugup.
“Terus, lo, rambut poni yang disisir belakang! Kenapa lo bisa sampai telat?”
“Hm, kalau gue kesiangan, kak. Alarm hape gue tiba-tiba mati...,” jawab Ardi santai.
“Bagus!” teriak panitia Ospek yang rambutnya cepak itu sambil mengacungkan jari jempolnya ke bawah. “Terus lo! Kenapa sampai telat? Lagian muka lo gak usah sok diganteng-gantengin deh. Jijik gue lihatnya!” sambungnya yang lagi melirik ke arah Joko.
“Gue harus bantu nyokap dulu kak!” seru Joko. “Dan, gue juga harus ngurusin ucup yang masih kecil...”
“Oh...” ujar panitia Ospek itu singkat. Dipikirnya Ucup tuh manusia, padahal sih kucing. Taktik Joko memang cerdas.
“Dan, lo! Kenapa dengan mata lo? Gak suka sama gue?” tanya ketus Panitia Ospek lain yang berkacamata—mirip Nobita ke Ikhsan.
Walaupun jadi sok sangar begitu, sebenarnya Panitia Ospek ini juga sangat berhati-hati menghadapi calon siswa baru satu ini. Wajar saja, badannya Ikhsan yang gede itu sudah seperti preman Pasar Tanah Abang, sedikit membuat nyali orang ciut jika pertama kali melihatnya. Mungkin termasuk Kakak Panitia Ospek ini juga.
“Eh... kau! Kau itu tidak bisa apa bicaranya dipelankan sedikit, hah? Suara kau itu udah bikin tuli telinga kita berempat. Kau tau itu!” seru Ikhsan dengan logat bataknya yang sangar.
Benar saja, ucapan Ikhsan barusan itu langsung menyelamatkan nasib Ardi, Joko,dan Mamat. Mereka berempat tidak jadi kena hukuman.
Ketiga panitia ospek yang menginterogasi Ardi, Ikhsan, Mamat dan Joko langsung saling bertatapan. Mereka seperti mendapati penerus-penerus yang mungkin saja bisa menjaga nama baik sekolah mereka. Iya, siswa-siswa penentang inilah yang bisa dianggap para panitia Ospek ini sebagai siswa yang bernyali besar dan pastinya bukan seorang yang penakut kalau ada tawuran antar sekolah nantinya.
“Sorry, maksud gue itu kan lo berempat pada telat. Gue cuman nanya alasannya kok. Kenapa lo jadi sewot gitu?” ucap salah satu panitia ospek dengan nada suara yang rendah.
Ardi, Joko, dan Mamat hanya bisa menahan ketawa setelah melihat tingkah panitia Ospek yang tiba-tiba melunak karena perkataan Ikhsan. Dari sinilah persahabatan mereka mulai terjalin erat; bermula dari sebuah Ospek, makan di kantin bareng dan saling berkenalan lebih dalam antara satu sama lain.
Semua seolah sudah ditakdirkan untuk bertemu dan melakukan banyak hal-hal hebat.
BAB 1
JOMBLO JUNKIES
Tampang sih sudah keren. Rambut sudah disisir rapih ke arah belakang seperti biasanya. Dompet juga sudah aman dari penjambret liar karena sudah dirantai di saku celana belakang. Apalagi ya yang kurang? Ah... Hampir saja ketinggalan—jam tangan yang sering dipakai oleh vokalis-vokalis band gitu.
“Sip, sekarang waktunya berangkat!”
Ardi. Cowok yang bertubuh sedikit pendek, namun berisi itu, kini sudah siap berangkat ke sekolah. Sambil menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu dan sudah mulai lapuk—dimakan umur, Ardi bersiul-siul kecil sambil melempar-lemparkan sisirnya yang berwarna merah itu ke udara.
Hap..., dengan sekali gerakan, sisir tersebut sukses mendarat di tangan kanannya.
Ardi bersiap menyapa Mami. Nah, Maminya Ardi ini punya badan yang lumayan lebar dan berkacamata. Mami suka banget mendengarkan musik di hape-nya pagi-pagi sambil mencuci piring ataupun sambil menyiapkan sarapan di rumah. Hampir semua lagu yang lagi hits Mami suka. Kayak sekarang ini nih, Mami lagi asyik mendengarkan lagunya Juwita Bahar yang Buka Dikit Jos, sambil joget-joget ala goyang Caisar—mengikuti acara yang di tivi-tivi.
“Pagi, Mi...,”
Bukannya menjawab Ardi. Eh, Mami malah cuek-cuek saja.
Dasar iseng. Ardi jalan pelan-pelan membelakangi Mami. Dia melepaskan headset yang daritadi lengket di telinga Mami, lalu berteriak, “Pagi Mamiii!!!”
PLAAAKKK!!!
Tangan Mami sukses meluncur dengan kecepatan tingkat tinggi ke pipi Ardi.
“Aduh..., sakit tau, Mi!” Ardi mengusap-usap pipinya yang perlahan mulai memerah.
“Lagian kamu sih! Bikin kaget Mami aja. Kamu gak tau kalau bikin kaget orang tua itu dosa?” kata Mami cerewet sambil benar-benar melepaskan kedua headset di telinganya dan melemparkan hape-nya ke sebuah meja makan persegi panjang berwarna cokelat tua yang berada di sisi kirinya sehingga menimbulkan bunyi ‘bug’.
“Maaf deh, Mi...,” Ardi melemparkan senyum lebarnya. “Ya udah, Ardi berangkat sekolah dulu ya, Mi. Takut terlambat nih...” lanjut Ardi sambil memasukkan sisirnya ke dalam saku celana sekolahnya di sebelah kanan.
“Sama siapa kamu berangkat, Di?”
“Itu sama Ikhsan, Mi..,” Ardi menunjuk ke arah luar rumah.“Tumben, lagi baik dia hari ini…,”
Dan, tepat di depan pagar rumah Ardi. Sesosok cowok yang jauh dari kata tampan lagi duduk manis di atas motor bebeknya yang sudah sekarat dan berkarat sambil menawarkan senyum menjijikkan ke arah Maminya Ardi. Ya, dia-lah anak yang bernama Ikhsan. Seperti biasa, Ikhsan selalu pakai jaket hitam kulit yang aromanya sudah seperti bau kambing yang belum mandi dan sarung tangan yang biasa dipakai sama penjaga vila di Puncak. Ikhsan ini badannya besar tegap, punya kulit sawo matang—eksotis khas Indonesia. Rambutnya pun sengaja dibuat ikal, karena Ikhsan memang terobsesi oleh tokoh Rangga yang ada di Film Ada Apa Dengan Cinta. Sebenarnya sih, Ikhsan lebih cocok jadi satpam sekolah daripada seorang siswa.
Mami melirik ke arah Ikhsan. “Oh..., sama Ikhsan. Bagus deh, Mami gak khawatir kalau kamu berangkat sama dia,” ucap Mami datar.
Mami pun mengantar Ardi ke depan pintu rumah dengan gaya khasnya—goyang pinggul kiri kanan yang sama sekali tidak ada seksi-seksinya (Mungkin Mami mau menirukan goyang itiknya Zaskia Gotik. Tapi sayang, sepertinya Mami gagal total).. Dan, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Ardi kemudian mencium mesra punggung tangan kanan Mami. Setelah itu, Ardi menadahkan tangan kanannya ke hadapan Mami. “Uang jajannya jangan lupa dong, Mi...”
Seakan sudah mengetahui tingkah Ardi, Mami menarik nafas panjang dan merogoh saku celana yang ternyata daritadi bersembunyi di balik daster-nya. Sementara, di sisi lain Ardi senyum-senyum sendiri sambil melirik ke arah Ikhsan. Di depan sana, Ikhsan pun ikut-ikutan senyum juga, sambil menaik-naikkan alis serta melayangkan jempol tangan kanannya—berharap uang jajan Ardi naik hari ini.
“Nih, sepuluh ribu,” kata Mami santai. “Tunggu dulu, Di, Mami tambahin gopek nih—kembalian dari tukang sayur kemarin. Jadi sepuluh ribu lima ratus, cukup kan? Ah, pasti cukuplah...,”
GUBRAAAK!
Ardi dan Ikhsan mendadak menghentikan senyum mereka yang lebih mirip kuda lagi sikat gigi itu. Hari gini, sepuluh ribu ditambah receh gopek. Apa kata dunia?
Ya sudahlah, Ardi tetap bersyukur dan memasukkan uang jajan pemberian Mami ke dalam saku celana sekolahnya. Tidak butuh waktu lama, Ardi keluar rumah dan naik motor Ikhsan. Tapi... tunggu dulu, bukan Ikhsan loh yang membonceng Ardi. Melainkan Ardi yang membonceng Ikhsan.
“Tante! Kami pergi dulu ya, doakan kami!” teriak Ikhsan kepada Maminya Ardi dengan logat khas Bataknya.
Ardi menarik stang gas motor Ikhsan dengan tiba-tiba, sehingga membuat badan Ikhsan yang seperti babon itu sedikit terpental ke belakang. Keduanya sukses meluncur ke sekolah tanpa hambatan—apalagi macet. Kenapa? Karena jarak dari rumah mereka ke sekolah hanya 200 meter-an saja.
Lantas apa gunanya motor Ikhsan? Ya, motor itu hanya untuk gengsi. Hidup ini perlu yang namanya gengsi, walaupun hanya secuil sabun colek buat cuci piring!
***
Luasnya hanya 8 x 10 meter dan cat temboknya berwarna cerah—warna biru langit. Di sana cukup berantakan. Banyak kertas-kertas berserakan di sana-sini, ada sebuah gitar kopong tua berdebu yang tergeletak malas di atas lantai dan beberapa alat tulis berhamburan liar di beberapa sudut ruangan. Tapi, dibalik semua kekacauan itu, ada tiga piala yang berdiri kokoh menandakan keeksisan prestasi para anggotanya.
Sebagai ketua OSIS yang berdedikasi tinggi di SMA Bhakti Bangsa, Joko datang lebih awal dari ketiga temannya—bahkan dari anggota-anggota OSIS lainnya. Joko ini mempunyai hidung yang lumayan mancung, dagu yang lancip, badan yang kurus tinggi seperti tiang listrik alias cungkring dan kulitnya agak gelap seakan dia terlalu malas untuk mengoleskan body lotion setiap sebelum tidur. Namun, Joko selalu menjadi orang pertama yang masuk ke dalam ruangan OSIS.
Joko orang yang disiplin? Tidak juga, dia semangat masuk ke ruangan OSIS hanya untuk online di sana. Lumayan kan bisa main game di Facebook tanpa harus diganggu siapapun.
Lalu, bagaimana dengan kabar Mamat? Dialah orang pertama yang selalu mengganggu aktifitas Joko. Iya, Mamat si kepala lampu taman alias botak. Tapi, jangan salah, mata Mamat yang sedikit sipit membuat wajahnya mirip orang Jepang. Apalagi kumis tipisnya, semakin mirip deh Mamat sama aktor yang memerankan Yakuza di film action Jepang. Namun, sayangnya dia memiliki perut yang sedikit buncit. Maka dari itu, saat ini Mamat berencana mengikuti diet OCD (Obsessive Corbuzier’s Diet) yang dicetuskan oleh Deddy Corbuzier.
“Jiah... Si botak dateng. Mat, jangan ganggu gue dulu ya, lagi seru nih!” Joko mencoba mempertahankan posisinya sambil membenarkan poni rambutnya agar tetap eksis ke arah kiri.
“Gue pengen Twitter-an, Ko. Please! Gue mau lihat mention-mention Deddy Corbuzier yang terbaru. Siapa tau dia kasih tips tentang OCD lagi!?” Mamat menggoyang-goyangkan kursi yang lagi diduduki Joko.
“Gak ah, kan ada ebook nya? Lo tinggal download aja tuh!”
“Tapi gue maunya lihat timeline Twitter-nya juga! Mau tau info terbaru dari Deddy Corbuzier...,” goyangan Mamat makin kencang sudah kayak gempa bumi 7,5 SR.
“Gak mau ah..., gue juga baru main sekitar tiga menit yang lalu!” Joko mencoba melepaskan kedua tangan Mamat dari kursi.
Mamat yang tidak mau kalah, kali ini mencoba mengancam dengan penghapus papan tulis kapur yang selalu tergeletak di dekat meja komputer OSIS, “Pokoknya giliran gue, kalau lo gak mau entar gue lempar nih penghapus ke muka lo! Cepatan sebentar lagi masuk!” “Sekali gak, tetep gak!!” teriak Joko.
JLEEEB...
Tiba-tiba saja listrik jadi mati.
Joko dan Mamat kemudian melirik ke arah pintu. Ada dua bayangan yang menghantui Joko dan Mamat. Ternyata, Ardi dan Ikhsan telah berdiri di sana sambil bersandar di pintu, layaknya seorang detektif yang sukses menggerebek targetnya. Keduanya juga sengaja memutuskan sekring listrik ruangan OSIS demi menghentikan pertengkaran yang tidak penting antara Joko dan Mamat.
***
Mereka lalu duduk-duduk lesehan di lantai membicarakan masalah yang tidak penting, namun ada juga yang penting. Seperti biasa, sambil menunggu bel sekolah masuk berbunyi, mereka mengobrol-ngobrol asyik dulu. Ya, bahasa ibu-ibunya sih; “menggosip”.
“Eh-eh..., tau gak sih, si Arman kemarin putus sama Jihan cuman gara-gara upilnya Arman gak sengaja nempel di baju Jihan!” ungkap Joko yang sok jijik. Padahal, dia lebih menjijikkan daripada Arman.
Begitulah jomblo, ketika mereka berkumpul, mereka akan membicarakan kisah percintaan orang lain. Di tengah-tengah obrolan itu, Ikhsan tiba-tiba berubah menjadi serius, sorot matanya mendadak tajam. Ikhsan mau sulap? Bukan.
“Eh, kalian itu apa tidak kepikiran buat nyari pacar? Bah! Kita ini udah tiga tahun di SMA, sebentar lagi juga mau lulus, tapi masa belum punya pacar juga?” Ikhsan mendadak galau. “Kau lihat, Si Arman yang kelas 11 itu saja sudah dua kali pacaran. Apa mau kau semua itu jadi bujang lapuk terus? Bah! Kalau aku sih tidak mau lah!”
Acara gosip pun seketika menjadi acara penggalauan bersama tingkat kecamatan. Ardi, Mamat dan Joko hanya bisa mengangguk tanda mereka juga sependapat dengan Ikhsan.
“Gimana kalau kita mulai sekarang cari pacar?” Joko tiba-tiba punya pemikiran yang paling rasional dan realistis atas ucapan Ikhsan.
Mamat mengalihkan pandangannya ke Joko yang duduk di sebelah kirinya, “Caranya?” tanya Mamat sambil mengangkat kedua bahunya. “Lagipula, dari dulu kita udah janji gak bakal ngejer-ngejer cewek, tapi cewek yang ngejer kita. Kalau gini masalahnya, untuk apa kita masuk OSIS coba? Kan biar dikenal cewek-cewek di sekolah kita, broo…,”
Kemudian Ardi mengambil sisir dari saku celananya, “Bener tuh yang dibilang si botak. Harus cewek yang ngejer kita..., Eh, tapi, kenapa ya sampe sekarang gak ada cewek yang ngejer-ngejer kita?” lanjutnya sambil nyisir rambutnya yang sudah mulai turun. “Perasaan kita tuh gak jelek-jelek amat deh...”
“Bah! Dangkal kali pemikiran kalian itu. Ya jelaslah, mana ada cewek yang suka sama kita, apalagi sampai ada yang mau ngejer-ngejer kita. Mustahil lah itu...,” Ikhsan lagi-lagi terlihat serius. “Kita itu tidak pernah pedekate sama cewek. Mungkin mereka tuh mikir kita itu homo, kemana-mana selalu berempat, ke toilet pun kita juga berempat. Oh Tuhan, baru sadar aku itu!” lanjut Ikhsan dengan nada yang mulai melebih-lebihkan.
“Iya-ya, bener juga, kita mikirnya dulu kalau kehadiran cewek tuh bakal merusak persahabatan kita...,”
“Nah itu dia, benar kali lah yang dibilang Joko itu,” Ikhsan mengambil kaca yang menempel di dinding belakangnya, lalu mencomoti jerawatnya yang tumbuh di area kening.
“Kayaknya kita harus jauhkan paradigma tentang cewek yang bakal ngejer-ngejer kita itu deh! Lo bayangin, kalau keadaannya gini terus, kita semua bakal jadi jomblo seumur hidup. Apalagi kalau situasi seperti ini dibiarin berlarut-larut, kita berempat bakal saling jatuh cinta...” tambah Mamat yang mulai panik sendiri.
“Nah itu dia, benar lagi lah apa yang Mamat katakan itu,” Ikhsan meletakkan kembali kaca berbingkai bulat kecil itu ke dinding.
“Kalau gitu sekarang kita mulai cari cewek aja menurut selera masing-masing. Dan, kalau nanti cewek-cewek itu bakal merusak persahabatan kita, kita tetap bersatu buat nyelesaiinnya. Dan jangan sampai persahabatan kita luntur karena cinta!” Joko berdiri dan mengepalkan tangan kanannya erat-erat.
“Setuju!”
“Gue juga!”
“Bah! Aku juga lah kalau macam itu...”
(Lagu Indonesia Raya seakan mengumandang di telinga Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat)
Saran Joko itu akhirnya mengakhiri penggalauan mereka bersama.
Lalu, kemudian anak-anak OSIS yang lainnya pun berdatangan. Dan tidak lama setelah itu, bel tanda masuk sekolah berbunyi. Ardi dan Ikhsan yang sekelas, masuk ke kelas 12 IPS 1. Sementara, Joko ke kelas 12 IPA 2, dan Mamat di kelas 12 IPS 2. Jangan anggap dengan masuknya Joko ke kelas IPA berarti Joko lebih pintar. Ini rahasia, sebenarnya Joko selalu menggunakan kancing baju seragamnya ketika dia berhadapan dengan soal pilihan ganda, terus bagaimana dengan soal essay? Sebagian Joko menyontek dengan murid yang lebih pintar.
***
Bukannya memperhatikan guru di depan kelas, Ardi dan Ikhsan yang duduk sebangku malah memikirkan tentang kejombloan mereka. Tidak terduga sebelumnya, obrolan di ruang OSIS tadi masih terbawa sampai ke dalam kelas.
“San, tipe cewek idaman lo tuh yang kayak gimana sih?” bisik Ardi sambil pura-pura baca buku pelajaran. Dia gak sadar kalau buku yang dipegangnya itu terbalik.
“Kalau aku yang penting baik, jujur, terus mengerti aku—macam mana aku orangnya Di!”
Hening. Semua orang tiba-tiba melihat ke arah Ardi dan Ikhsan.
Dasar Ikhsan, volume suaranya gak bisa dikecilin dikit apa!, gerutu Ardi dalam hati.
“Kalian berdua, jangan berisik! Kalau masih berisik, kalian Ibu keluarkan dari kelas, mengerti?!” tegur Bu Santi, Guru Bahasa Indonesia yang terkenal cerewet.
“Mengerti Bu…,” jawab Ardi dan Ikhsan berbarengan.
Di kelas 12 IPA 2. Joko juga sama. Sebenarnya sih, Joko sudah punya target untuk mengubah statusnya di Facebook menjadi in relationship, tapi dia terlalu malu untuk menyatakan perasaannya itu.
Cewek yang tidak beruntung sudah ditaksir Joko itu namanya Irvina. Dia duduk di barisan depan, sebelah kiri dekat tembok, tepat di depan meja guru. Apa yang membuat Joko suka sama Irvina? Sederhana sih, dia punya tahi lalat di dekat bibir. Joko memang suka cewek yang seperti itu sejak kelas 10 dulu. Pikirnya sih, cewek yang punya ciri-ciri itu cenderung memiliki sifat cerewet, tapi dia suka cewek yang cerewet.
Dan, secara tidak terduga, di tengah lamunan itu tiba-tiba Irvina datang menghampiri Joko. Menawarkan senyum termanisnya di hadapan Joko, lalu mengkibas-kibaskan rambutnya yang panjang seperti iklan shampoo.
Joko pun membalas dengan senyuman terbaiknya sehingga membuat tingkat derajat kegantengannya bertambah. Ya, walaupun hanya sedikit.
“Joko, gue mau ngomong sesuatu ke lo deh,” buka Irvina yang tepat berdiri di sebelah kiri Joko.
Joko heran dan mengubah posisi duduknya sedikit ke arah kiri, “Hm... lo mau ngomong apaan, Vin?”
“Gue mau ngomong,” suara Irvina terhenti sebentar. “Gue mau ngomong, kalau sebenernya gue suka sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?”
“Hah? Lo serius, Vin? Lo lagi gak mabok kan ya?” Joko melotot dan beranjak dari duduknya seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Serius-lah, mau gak nih?”
“Iya-iya, gue mau!” tegas Joko sambil memegang tangan Irvina mesra.
BLETAKKK!
Penghapus papan tulis berhasil mencium mesra kening Joko. Memang yang namanya mimpi di pagi hari tuh asyik banget. Tapi, jangan sampai hal itu terjadi pada saat guru sedang mengajar juga. Akibatnya, Joko ditertawai oleh siswa lainnya, termasuk Irvina. Memalukan. Bahkan sangat memalukan bagi Joko.
Joko pun akhirnya memilih menghindar dengan cara klasik; dia alasan permisi untuk pergi ke toilet.
Sedangkan di kelas 12 IPS 2. Apakah Mamat memikirkan masalah pacar juga? Jawabannya; Iya. Dan ternyata Mamat memakai cara yang lebih ampuh bagi seorang jomblo yang gaul, yaitu pakai media sosial; Facebook dan Twitter. Hanya saja, tidak ada satu pun cewek yang sesuai dengan selera Mamat. Bagaimana dengan cewek-cewek di kelasnya? Ah, apalagi itu, cewek-cewek yang ada di kelasnya aneh-aneh semua. Ada yang namanya Surti, yang bau keteknya tidak bisa ditandingi oleh merek deodorant manapun. Ada juga Yuli, yang terobsesi punya pacar mirip Boyband Korea, Super Junior. Bahkan yang lebih freak lagi, ada Imah yang suka ngupil terus upilnya dijilat sendiri. Pokoknya, Mamat tidak menyukai semua cewek yang berasal dari kelasnya!
“Mat, lo mikirin apaan sih, daritadi celingak-celinguk merhatiin temen-temen cewek di kelas kita? Lo lagi ngelamun jorok ye?” bisik Fandi heran dengan tingkah teman sebangkunya itu.
“Bukan, Fan! Gue cuman mikir, kok di kelas kita gak ada cewek cakep yak. Cewek-cewek di kelas kita rada-rada gimanaaaa gitu...,” Mamat mengelus-elus kepalanya.
“Itu karena semua cewek cakep udah diserap di kelas IPS 5, Mat. Makanya, gue malah sempet kecewa dan nangis karena gak masuk ke kelas itu.”
“Oh gitu, sampai segitunya lo, Fan?” Mamat tertarik dengan pendapat Fandi. Dia menatap Fandi dengan ekspresi penasaran, alisnya berkerut sedemikian rupa seperti cacing lagi sakit perut. Eh, tunggu dulu, memangnya cacing punya perut?
“Iya, Mat..., tapi akhirnya gue seneng kok masuk ke kelas ini.”
“Kenapa?” Mamat makin heran.
“Karena gue bisa duduk di sebelah lo,” Fandi menepuk bahu Mamat.
Melihat ada yang mulai tidak beres dengan teman sebangkunya itu, Mamat terdiam sebentar sambil menelan ludahnya sendiri. Mamat tidak menyangka kalau selama ini teman sebangkunya itu ternyataaa…
“Tenang, Mat, gue bukan homo kok,” jelas Fandi.
Mamat akhirnya bernafas lega.
***
Bel tanda istirahat berbunyi. Seperti biasa, kantin Mbok Tuti yang tidak terlalu luas dan hanya dihiasi perabot rumahan sederhana—sebuah meja yang terbuat dari kayu sisa bangunan dan kursi kayu panjang yang juga bekas sisa bangunan di sisi baratnya itu menjadi tempat nongkrong Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan.
Keempatnya memesan es teh manis sambil berpikir keras. Kejombloan yang selama ini mereka sandang, telah merusak kosentrasi belajar mereka di kelas tadi pagi. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebagai orang pertama yang telah melahirkan kegalauan, Ikhsan akhirnya angkat suara duluan, “Aku punya ide! Bagimana kalau kita bikin komunitas jomblo di sekolah ini. Jadi, bagi siapapun yang jomblo, baik itu cewek maupun cowok, mereka bisa gabung dan bisa memilih pasangannya kalau mereka cocok! Dengan begitu kita juga bisa dapat pacar!”
Brilian! Ternyata bukan hanya badannya saja yang sebesar badan babon, tapi otaknya juga. Saran itu langsung disetujui sama yang lainnya.
“Terus, nama komunitasnya apaan?” tanya Ardi.
“Emang penting ya pakai nama komunitas segala?”
“Pentinglah Mat, sebagai identitas komunitas kita.”
“Gimana kalau Komlo, komunitas jomblo,” ucap Joko datar.
“Ah, tidak terlalu enak di dengar itu, dan aku rasa itu terlalu singkat. Lagi pula, kurasa itu mirip nama makanan juga...” balas Ikhsan sembari menyomot tahu isi punyanya.
“Itu combro, babon...,” teriak Joko.
Namun, ditengah-tengah keributan kecil itu. Ardi tiba-tiba mengeluarkan pendapatnya. Daritadi dong, Di!
“Gue punya ide, depannya kita pakai kata ikatan. Gimana?”
“Bagus juga tuh, Di. Ikatan Jomblo!”
“Tidak enak juga, Mat. Aku rasa juga terlalu singkat,” Ikhsan lagi-lagi tidak setuju.
Si Ikhsan ini hanya bisa protes aja kerjaannya, tapi tidak bisa kasih solusi pasti. Tidak mau terlalu lama mikir dan berdebat, akhirnya Ardi Googling dulu lewat hape pintar androidnya yang baru dua minggu lalu dibelikan sama Mami. Sementara itu, Mamat, Ikhsan dan Joko pun setia menunggu sambil makan gorengan.
“Gimana, Di? Ketemu tidak kau?” tanya Ikhsan dengan kondisi mulut penuh cabai dan gorengan.
“Hm... Gimana kalau Jomblo Junkies?” jawab Ardi sambil melihat hape-nya.
“Apaan tuh junkies, Di?” Joko penasaran. Saking penasarannya, Joko sampai tidak lihat lagi kalau tempe goreng dan tahu isi-nya dicomot oleh Ikhsan.
“Junkies itu berasal dari kata junkie, jadi kayak perilaku ketagihan atau kecanduan gitu. Ya, kayak pemakai yang sudah addict gitu lah…”
“Oh iya, gue ngerti. Jadi jomblo junkies tuh kayak orang-orang yang udah kecanduan dan kelamaan ngejomblo ya, Di?” pikir Joko.
“Bener, Ko. Jadi komunitas Jomblo junkies ini berdiri karena status kejombloan seseorang yang gak kunjung sembuh sehingga mereka jadi ketagihan dalam menjomblo!”
WUZZZZ…
Angin berhembus lumayan kencang dan daun-daun kering di sekitaran kantin berterbangan—seolah ikut mendramatisir suasana. Kata-kata yang barusan diucapkan Ardi membuat semuanya menjadi semangat. Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat pun berdiri dan saling bertatapan. Mereka kemudian saling mengepalkan tangan kanan ke atas, lalu berteriak, “Yeaaaaahh!!!!”
Dan resmi-lah sudah berdirinya Komunitas Jomblo Junkies dengan harapan memfasilitasi jomblo-jomblo di sekolah agar dapat pacar. Mantap.
Tapi kekacauan datang lagi, “Oiii..., tempe sama tahu isi gue mana!?” teriak Joko panik karena dia yang harus bayar sesuatu yang tidak dimakannya itu.
***
Joko kemudian mendesign layout brosur Jomblo Junkies sepulang sekolah di ruangan OSIS, sementara yang lain membantu dengan menyusun kata-kata yang pas. Semua bekerja sama, demi Jomblo Junkies dan para siswa-siswi yang masih jomblo. Iya, kejombloan di sekolah harus diberantas karena para pasangan di sana sudah tidak ada toleransi lagi dalam berpacaran. Bisa dibilang, orang-orang yang sudah punya pacar di sekolah tuh sudah semakin terbuka. Mereka berpegangan tangan, suap-suapan bakso, sampai ciken-ciken (baca: cium kening). Hal itu hanya akan membuat para jomblo patah hati dan terluka, bahkan beberapa kasus ada yang sampai peluk-peluk tembok saking terobsesinya punya pacar. Maka dari itu, inilah gunanya Komunitas Jomblo Junkies, agar para jomblo di sekolah bisa dapat pacar dan bisa saling menguatkan apabila masih ada anggota yang jomblo.
“Sip, selesai!” Joko mengambil kertas A4 yang baru saja keluar dari printer.
Dan, inilah isi brosur Jomblo Junkies:
------------------------------------------------------------------------------------------------------- Anda sudah bosan ngejomblo? Dan Anda ingin punya pacar yang membuat hidup anda lebih berwarna?
Gabung segera dengan KOMUNITAS JOMBLO JUNKIES!
Komunitas ini dapat menyembuhkan:
Penyakit jomblo kronis berkepanjangan.
Luka yang disebabkan oleh serangan orang-orang yang udah dapat pacar.
Krisis ketidakpercayaan diri terhadap lawan jenis.
Berminat? Mari bergabung dengan kami, para Jomblo Junkies!
Basecamp kami di taman belakang sekolah. Silahkan datang kesana (Jangan lupa bawa makanan sendiri).
------------------------------------------------------------------------------------------------------ Brosur tersebut kemudian dipegang oleh Mamat, “Hm..., bagus! Tapi, kok kayak brosur pengobatan alternatif gini ya?”
“Eh, Mamat si muka bohlam, biarin lah yang penting ada! Terus brosur itu mau kita tempel dimana, Ko?” tanya Ikhsan.
“Papan mading lah, dimana lagi coba?”
“Di papan mading? Oke, Aku setuju!!!”
Dengan api semangat yang berkobar-kobar, Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan pergi ke tempat papan mading yang berada di koridor depan pintu masuk sekolah. Tanpa pikir panjang lagi mereka menempelkan brosur Komunitas Jomblo Junkies disana.
Ardi kemudian melihat disekelilingnya, “Udah pada pulang, brosur kita pasti gak ada yang lihat dong entar?”.
“Ah kau ini macam mana, kan masih bisa dilihat besok. Lagian, nih kau lihat, di papan mading ini hanya ada brosur punya kita, jadi pasti dibaca-lah brosur kita ini.”
“Oh iya bener juga lo, San!” Ardi kembali mengatur rambut agar tetap eksis ke belakang memakai sisir kesayangannya.
“Ya udah kalau gitu, tempel sekarang, terus pulang! Kita tunggu deh kabar gembira besok!” tutup Mamat.
Sebuah ide besar yang nantinya akan menolong Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan serta siswa-siswi lain untuk mendapatkan pacar telah di-publish. Keempatnya kemudian balik ke rumah masing-masing dalam keadaan riang gembira.
Tapi, tidak lama kemudian tiba-tiba seorang Bapak-bapak dengan perawakan gemuk dan berkumis lebat layaknya karakter game Mario Bross, datang menghampiri papan madding yang sudah terlihat kusam dan lapuk itu. “Hah? Komunitas Jomblo Junkies? Ini apa sih….,” Bapak-bapak yang berumur sekitar 50-an tersebut melepaskan brosur Komunitas Jomblo Junkies. ”Ah, ternyata gak penting, ini kan gak ada hubungannya dengan kegiatan sekolah…,” ujarnya sambil melepaskan brosur yang sudah dibuat Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat.
“Pak, ganti papannya sekarang, ya! saya mau pulang!” sambungnya sambil teriak ke arah penjaga sekolah.
***
Tiga tahun yang lalu.
Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat bertemu di hari terakhir Ospek SMA Bhakti Bangsa. Kebetulan, di hari itu mereka berempat datang terlambat dari jadwal yang sudah di tetapkan oleh panitia Ospek. Dan, sebagai konsekuensinya, Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat harus menerima hukuman.
“Kenapa kalian sampai telat, hah!?” teriak salah satu Panitia Ospek yang sok galak.
“G-g-gue... k-ke-kena m-macet kak...” jawab Mamat gugup.
“Terus, lo, rambut poni yang disisir belakang! Kenapa lo bisa sampai telat?”
“Hm, kalau gue kesiangan, kak. Alarm hape gue tiba-tiba mati...,” jawab Ardi santai.
“Bagus!” teriak panitia Ospek yang rambutnya cepak itu sambil mengacungkan jari jempolnya ke bawah. “Terus lo! Kenapa sampai telat? Lagian muka lo gak usah sok diganteng-gantengin deh. Jijik gue lihatnya!” sambungnya yang lagi melirik ke arah Joko.
“Gue harus bantu nyokap dulu kak!” seru Joko. “Dan, gue juga harus ngurusin ucup yang masih kecil...”
“Oh...” ujar panitia Ospek itu singkat. Dipikirnya Ucup tuh manusia, padahal sih kucing. Taktik Joko memang cerdas.
“Dan, lo! Kenapa dengan mata lo? Gak suka sama gue?” tanya ketus Panitia Ospek lain yang berkacamata—mirip Nobita ke Ikhsan.
Walaupun jadi sok sangar begitu, sebenarnya Panitia Ospek ini juga sangat berhati-hati menghadapi calon siswa baru satu ini. Wajar saja, badannya Ikhsan yang gede itu sudah seperti preman Pasar Tanah Abang, sedikit membuat nyali orang ciut jika pertama kali melihatnya. Mungkin termasuk Kakak Panitia Ospek ini juga.
“Eh... kau! Kau itu tidak bisa apa bicaranya dipelankan sedikit, hah? Suara kau itu udah bikin tuli telinga kita berempat. Kau tau itu!” seru Ikhsan dengan logat bataknya yang sangar.
Benar saja, ucapan Ikhsan barusan itu langsung menyelamatkan nasib Ardi, Joko,dan Mamat. Mereka berempat tidak jadi kena hukuman.
Ketiga panitia ospek yang menginterogasi Ardi, Ikhsan, Mamat dan Joko langsung saling bertatapan. Mereka seperti mendapati penerus-penerus yang mungkin saja bisa menjaga nama baik sekolah mereka. Iya, siswa-siswa penentang inilah yang bisa dianggap para panitia Ospek ini sebagai siswa yang bernyali besar dan pastinya bukan seorang yang penakut kalau ada tawuran antar sekolah nantinya.
“Sorry, maksud gue itu kan lo berempat pada telat. Gue cuman nanya alasannya kok. Kenapa lo jadi sewot gitu?” ucap salah satu panitia ospek dengan nada suara yang rendah.
Ardi, Joko, dan Mamat hanya bisa menahan ketawa setelah melihat tingkah panitia Ospek yang tiba-tiba melunak karena perkataan Ikhsan. Dari sinilah persahabatan mereka mulai terjalin erat; bermula dari sebuah Ospek, makan di kantin bareng dan saling berkenalan lebih dalam antara satu sama lain.
Semua seolah sudah ditakdirkan untuk bertemu dan melakukan banyak hal-hal hebat.
BAB 1
JOMBLO JUNKIES
Tampang sih sudah keren. Rambut sudah disisir rapih ke arah belakang seperti biasanya. Dompet juga sudah aman dari penjambret liar karena sudah dirantai di saku celana belakang. Apalagi ya yang kurang? Ah... Hampir saja ketinggalan—jam tangan yang sering dipakai oleh vokalis-vokalis band gitu.
“Sip, sekarang waktunya berangkat!”
Ardi. Cowok yang bertubuh sedikit pendek, namun berisi itu, kini sudah siap berangkat ke sekolah. Sambil menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu dan sudah mulai lapuk—dimakan umur, Ardi bersiul-siul kecil sambil melempar-lemparkan sisirnya yang berwarna merah itu ke udara.
Hap..., dengan sekali gerakan, sisir tersebut sukses mendarat di tangan kanannya.
Ardi bersiap menyapa Mami. Nah, Maminya Ardi ini punya badan yang lumayan lebar dan berkacamata. Mami suka banget mendengarkan musik di hape-nya pagi-pagi sambil mencuci piring ataupun sambil menyiapkan sarapan di rumah. Hampir semua lagu yang lagi hits Mami suka. Kayak sekarang ini nih, Mami lagi asyik mendengarkan lagunya Juwita Bahar yang Buka Dikit Jos, sambil joget-joget ala goyang Caisar—mengikuti acara yang di tivi-tivi.
“Pagi, Mi...,”
Bukannya menjawab Ardi. Eh, Mami malah cuek-cuek saja.
Dasar iseng. Ardi jalan pelan-pelan membelakangi Mami. Dia melepaskan headset yang daritadi lengket di telinga Mami, lalu berteriak, “Pagi Mamiii!!!”
PLAAAKKK!!!
Tangan Mami sukses meluncur dengan kecepatan tingkat tinggi ke pipi Ardi.
“Aduh..., sakit tau, Mi!” Ardi mengusap-usap pipinya yang perlahan mulai memerah.
“Lagian kamu sih! Bikin kaget Mami aja. Kamu gak tau kalau bikin kaget orang tua itu dosa?” kata Mami cerewet sambil benar-benar melepaskan kedua headset di telinganya dan melemparkan hape-nya ke sebuah meja makan persegi panjang berwarna cokelat tua yang berada di sisi kirinya sehingga menimbulkan bunyi ‘bug’.
“Maaf deh, Mi...,” Ardi melemparkan senyum lebarnya. “Ya udah, Ardi berangkat sekolah dulu ya, Mi. Takut terlambat nih...” lanjut Ardi sambil memasukkan sisirnya ke dalam saku celana sekolahnya di sebelah kanan.
“Sama siapa kamu berangkat, Di?”
“Itu sama Ikhsan, Mi..,” Ardi menunjuk ke arah luar rumah.“Tumben, lagi baik dia hari ini…,”
Dan, tepat di depan pagar rumah Ardi. Sesosok cowok yang jauh dari kata tampan lagi duduk manis di atas motor bebeknya yang sudah sekarat dan berkarat sambil menawarkan senyum menjijikkan ke arah Maminya Ardi. Ya, dia-lah anak yang bernama Ikhsan. Seperti biasa, Ikhsan selalu pakai jaket hitam kulit yang aromanya sudah seperti bau kambing yang belum mandi dan sarung tangan yang biasa dipakai sama penjaga vila di Puncak. Ikhsan ini badannya besar tegap, punya kulit sawo matang—eksotis khas Indonesia. Rambutnya pun sengaja dibuat ikal, karena Ikhsan memang terobsesi oleh tokoh Rangga yang ada di Film Ada Apa Dengan Cinta. Sebenarnya sih, Ikhsan lebih cocok jadi satpam sekolah daripada seorang siswa.
Mami melirik ke arah Ikhsan. “Oh..., sama Ikhsan. Bagus deh, Mami gak khawatir kalau kamu berangkat sama dia,” ucap Mami datar.
Mami pun mengantar Ardi ke depan pintu rumah dengan gaya khasnya—goyang pinggul kiri kanan yang sama sekali tidak ada seksi-seksinya (Mungkin Mami mau menirukan goyang itiknya Zaskia Gotik. Tapi sayang, sepertinya Mami gagal total).. Dan, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Ardi kemudian mencium mesra punggung tangan kanan Mami. Setelah itu, Ardi menadahkan tangan kanannya ke hadapan Mami. “Uang jajannya jangan lupa dong, Mi...”
Seakan sudah mengetahui tingkah Ardi, Mami menarik nafas panjang dan merogoh saku celana yang ternyata daritadi bersembunyi di balik daster-nya. Sementara, di sisi lain Ardi senyum-senyum sendiri sambil melirik ke arah Ikhsan. Di depan sana, Ikhsan pun ikut-ikutan senyum juga, sambil menaik-naikkan alis serta melayangkan jempol tangan kanannya—berharap uang jajan Ardi naik hari ini.
“Nih, sepuluh ribu,” kata Mami santai. “Tunggu dulu, Di, Mami tambahin gopek nih—kembalian dari tukang sayur kemarin. Jadi sepuluh ribu lima ratus, cukup kan? Ah, pasti cukuplah...,”
GUBRAAAK!
Ardi dan Ikhsan mendadak menghentikan senyum mereka yang lebih mirip kuda lagi sikat gigi itu. Hari gini, sepuluh ribu ditambah receh gopek. Apa kata dunia?
Ya sudahlah, Ardi tetap bersyukur dan memasukkan uang jajan pemberian Mami ke dalam saku celana sekolahnya. Tidak butuh waktu lama, Ardi keluar rumah dan naik motor Ikhsan. Tapi... tunggu dulu, bukan Ikhsan loh yang membonceng Ardi. Melainkan Ardi yang membonceng Ikhsan.
“Tante! Kami pergi dulu ya, doakan kami!” teriak Ikhsan kepada Maminya Ardi dengan logat khas Bataknya.
Ardi menarik stang gas motor Ikhsan dengan tiba-tiba, sehingga membuat badan Ikhsan yang seperti babon itu sedikit terpental ke belakang. Keduanya sukses meluncur ke sekolah tanpa hambatan—apalagi macet. Kenapa? Karena jarak dari rumah mereka ke sekolah hanya 200 meter-an saja.
Lantas apa gunanya motor Ikhsan? Ya, motor itu hanya untuk gengsi. Hidup ini perlu yang namanya gengsi, walaupun hanya secuil sabun colek buat cuci piring!
***
Luasnya hanya 8 x 10 meter dan cat temboknya berwarna cerah—warna biru langit. Di sana cukup berantakan. Banyak kertas-kertas berserakan di sana-sini, ada sebuah gitar kopong tua berdebu yang tergeletak malas di atas lantai dan beberapa alat tulis berhamburan liar di beberapa sudut ruangan. Tapi, dibalik semua kekacauan itu, ada tiga piala yang berdiri kokoh menandakan keeksisan prestasi para anggotanya.
Sebagai ketua OSIS yang berdedikasi tinggi di SMA Bhakti Bangsa, Joko datang lebih awal dari ketiga temannya—bahkan dari anggota-anggota OSIS lainnya. Joko ini mempunyai hidung yang lumayan mancung, dagu yang lancip, badan yang kurus tinggi seperti tiang listrik alias cungkring dan kulitnya agak gelap seakan dia terlalu malas untuk mengoleskan body lotion setiap sebelum tidur. Namun, Joko selalu menjadi orang pertama yang masuk ke dalam ruangan OSIS.
Joko orang yang disiplin? Tidak juga, dia semangat masuk ke ruangan OSIS hanya untuk online di sana. Lumayan kan bisa main game di Facebook tanpa harus diganggu siapapun.
Lalu, bagaimana dengan kabar Mamat? Dialah orang pertama yang selalu mengganggu aktifitas Joko. Iya, Mamat si kepala lampu taman alias botak. Tapi, jangan salah, mata Mamat yang sedikit sipit membuat wajahnya mirip orang Jepang. Apalagi kumis tipisnya, semakin mirip deh Mamat sama aktor yang memerankan Yakuza di film action Jepang. Namun, sayangnya dia memiliki perut yang sedikit buncit. Maka dari itu, saat ini Mamat berencana mengikuti diet OCD (Obsessive Corbuzier’s Diet) yang dicetuskan oleh Deddy Corbuzier.
“Jiah... Si botak dateng. Mat, jangan ganggu gue dulu ya, lagi seru nih!” Joko mencoba mempertahankan posisinya sambil membenarkan poni rambutnya agar tetap eksis ke arah kiri.
“Gue pengen Twitter-an, Ko. Please! Gue mau lihat mention-mention Deddy Corbuzier yang terbaru. Siapa tau dia kasih tips tentang OCD lagi!?” Mamat menggoyang-goyangkan kursi yang lagi diduduki Joko.
“Gak ah, kan ada ebook nya? Lo tinggal download aja tuh!”
“Tapi gue maunya lihat timeline Twitter-nya juga! Mau tau info terbaru dari Deddy Corbuzier...,” goyangan Mamat makin kencang sudah kayak gempa bumi 7,5 SR.
“Gak mau ah..., gue juga baru main sekitar tiga menit yang lalu!” Joko mencoba melepaskan kedua tangan Mamat dari kursi.
Mamat yang tidak mau kalah, kali ini mencoba mengancam dengan penghapus papan tulis kapur yang selalu tergeletak di dekat meja komputer OSIS, “Pokoknya giliran gue, kalau lo gak mau entar gue lempar nih penghapus ke muka lo! Cepatan sebentar lagi masuk!” “Sekali gak, tetep gak!!” teriak Joko.
JLEEEB...
Tiba-tiba saja listrik jadi mati.
Joko dan Mamat kemudian melirik ke arah pintu. Ada dua bayangan yang menghantui Joko dan Mamat. Ternyata, Ardi dan Ikhsan telah berdiri di sana sambil bersandar di pintu, layaknya seorang detektif yang sukses menggerebek targetnya. Keduanya juga sengaja memutuskan sekring listrik ruangan OSIS demi menghentikan pertengkaran yang tidak penting antara Joko dan Mamat.
***
Mereka lalu duduk-duduk lesehan di lantai membicarakan masalah yang tidak penting, namun ada juga yang penting. Seperti biasa, sambil menunggu bel sekolah masuk berbunyi, mereka mengobrol-ngobrol asyik dulu. Ya, bahasa ibu-ibunya sih; “menggosip”.
“Eh-eh..., tau gak sih, si Arman kemarin putus sama Jihan cuman gara-gara upilnya Arman gak sengaja nempel di baju Jihan!” ungkap Joko yang sok jijik. Padahal, dia lebih menjijikkan daripada Arman.
Begitulah jomblo, ketika mereka berkumpul, mereka akan membicarakan kisah percintaan orang lain. Di tengah-tengah obrolan itu, Ikhsan tiba-tiba berubah menjadi serius, sorot matanya mendadak tajam. Ikhsan mau sulap? Bukan.
“Eh, kalian itu apa tidak kepikiran buat nyari pacar? Bah! Kita ini udah tiga tahun di SMA, sebentar lagi juga mau lulus, tapi masa belum punya pacar juga?” Ikhsan mendadak galau. “Kau lihat, Si Arman yang kelas 11 itu saja sudah dua kali pacaran. Apa mau kau semua itu jadi bujang lapuk terus? Bah! Kalau aku sih tidak mau lah!”
Acara gosip pun seketika menjadi acara penggalauan bersama tingkat kecamatan. Ardi, Mamat dan Joko hanya bisa mengangguk tanda mereka juga sependapat dengan Ikhsan.
“Gimana kalau kita mulai sekarang cari pacar?” Joko tiba-tiba punya pemikiran yang paling rasional dan realistis atas ucapan Ikhsan.
Mamat mengalihkan pandangannya ke Joko yang duduk di sebelah kirinya, “Caranya?” tanya Mamat sambil mengangkat kedua bahunya. “Lagipula, dari dulu kita udah janji gak bakal ngejer-ngejer cewek, tapi cewek yang ngejer kita. Kalau gini masalahnya, untuk apa kita masuk OSIS coba? Kan biar dikenal cewek-cewek di sekolah kita, broo…,”
Kemudian Ardi mengambil sisir dari saku celananya, “Bener tuh yang dibilang si botak. Harus cewek yang ngejer kita..., Eh, tapi, kenapa ya sampe sekarang gak ada cewek yang ngejer-ngejer kita?” lanjutnya sambil nyisir rambutnya yang sudah mulai turun. “Perasaan kita tuh gak jelek-jelek amat deh...”
“Bah! Dangkal kali pemikiran kalian itu. Ya jelaslah, mana ada cewek yang suka sama kita, apalagi sampai ada yang mau ngejer-ngejer kita. Mustahil lah itu...,” Ikhsan lagi-lagi terlihat serius. “Kita itu tidak pernah pedekate sama cewek. Mungkin mereka tuh mikir kita itu homo, kemana-mana selalu berempat, ke toilet pun kita juga berempat. Oh Tuhan, baru sadar aku itu!” lanjut Ikhsan dengan nada yang mulai melebih-lebihkan.
“Iya-ya, bener juga, kita mikirnya dulu kalau kehadiran cewek tuh bakal merusak persahabatan kita...,”
“Nah itu dia, benar kali lah yang dibilang Joko itu,” Ikhsan mengambil kaca yang menempel di dinding belakangnya, lalu mencomoti jerawatnya yang tumbuh di area kening.
“Kayaknya kita harus jauhkan paradigma tentang cewek yang bakal ngejer-ngejer kita itu deh! Lo bayangin, kalau keadaannya gini terus, kita semua bakal jadi jomblo seumur hidup. Apalagi kalau situasi seperti ini dibiarin berlarut-larut, kita berempat bakal saling jatuh cinta...” tambah Mamat yang mulai panik sendiri.
“Nah itu dia, benar lagi lah apa yang Mamat katakan itu,” Ikhsan meletakkan kembali kaca berbingkai bulat kecil itu ke dinding.
“Kalau gitu sekarang kita mulai cari cewek aja menurut selera masing-masing. Dan, kalau nanti cewek-cewek itu bakal merusak persahabatan kita, kita tetap bersatu buat nyelesaiinnya. Dan jangan sampai persahabatan kita luntur karena cinta!” Joko berdiri dan mengepalkan tangan kanannya erat-erat.
“Setuju!”
“Gue juga!”
“Bah! Aku juga lah kalau macam itu...”
(Lagu Indonesia Raya seakan mengumandang di telinga Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat)
Saran Joko itu akhirnya mengakhiri penggalauan mereka bersama.
Lalu, kemudian anak-anak OSIS yang lainnya pun berdatangan. Dan tidak lama setelah itu, bel tanda masuk sekolah berbunyi. Ardi dan Ikhsan yang sekelas, masuk ke kelas 12 IPS 1. Sementara, Joko ke kelas 12 IPA 2, dan Mamat di kelas 12 IPS 2. Jangan anggap dengan masuknya Joko ke kelas IPA berarti Joko lebih pintar. Ini rahasia, sebenarnya Joko selalu menggunakan kancing baju seragamnya ketika dia berhadapan dengan soal pilihan ganda, terus bagaimana dengan soal essay? Sebagian Joko menyontek dengan murid yang lebih pintar.
***
Bukannya memperhatikan guru di depan kelas, Ardi dan Ikhsan yang duduk sebangku malah memikirkan tentang kejombloan mereka. Tidak terduga sebelumnya, obrolan di ruang OSIS tadi masih terbawa sampai ke dalam kelas.
“San, tipe cewek idaman lo tuh yang kayak gimana sih?” bisik Ardi sambil pura-pura baca buku pelajaran. Dia gak sadar kalau buku yang dipegangnya itu terbalik.
“Kalau aku yang penting baik, jujur, terus mengerti aku—macam mana aku orangnya Di!”
Hening. Semua orang tiba-tiba melihat ke arah Ardi dan Ikhsan.
Dasar Ikhsan, volume suaranya gak bisa dikecilin dikit apa!, gerutu Ardi dalam hati.
“Kalian berdua, jangan berisik! Kalau masih berisik, kalian Ibu keluarkan dari kelas, mengerti?!” tegur Bu Santi, Guru Bahasa Indonesia yang terkenal cerewet.
“Mengerti Bu…,” jawab Ardi dan Ikhsan berbarengan.
Di kelas 12 IPA 2. Joko juga sama. Sebenarnya sih, Joko sudah punya target untuk mengubah statusnya di Facebook menjadi in relationship, tapi dia terlalu malu untuk menyatakan perasaannya itu.
Cewek yang tidak beruntung sudah ditaksir Joko itu namanya Irvina. Dia duduk di barisan depan, sebelah kiri dekat tembok, tepat di depan meja guru. Apa yang membuat Joko suka sama Irvina? Sederhana sih, dia punya tahi lalat di dekat bibir. Joko memang suka cewek yang seperti itu sejak kelas 10 dulu. Pikirnya sih, cewek yang punya ciri-ciri itu cenderung memiliki sifat cerewet, tapi dia suka cewek yang cerewet.
Dan, secara tidak terduga, di tengah lamunan itu tiba-tiba Irvina datang menghampiri Joko. Menawarkan senyum termanisnya di hadapan Joko, lalu mengkibas-kibaskan rambutnya yang panjang seperti iklan shampoo.
Joko pun membalas dengan senyuman terbaiknya sehingga membuat tingkat derajat kegantengannya bertambah. Ya, walaupun hanya sedikit.
“Joko, gue mau ngomong sesuatu ke lo deh,” buka Irvina yang tepat berdiri di sebelah kiri Joko.
Joko heran dan mengubah posisi duduknya sedikit ke arah kiri, “Hm... lo mau ngomong apaan, Vin?”
“Gue mau ngomong,” suara Irvina terhenti sebentar. “Gue mau ngomong, kalau sebenernya gue suka sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?”
“Hah? Lo serius, Vin? Lo lagi gak mabok kan ya?” Joko melotot dan beranjak dari duduknya seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Serius-lah, mau gak nih?”
“Iya-iya, gue mau!” tegas Joko sambil memegang tangan Irvina mesra.
BLETAKKK!
Penghapus papan tulis berhasil mencium mesra kening Joko. Memang yang namanya mimpi di pagi hari tuh asyik banget. Tapi, jangan sampai hal itu terjadi pada saat guru sedang mengajar juga. Akibatnya, Joko ditertawai oleh siswa lainnya, termasuk Irvina. Memalukan. Bahkan sangat memalukan bagi Joko.
Joko pun akhirnya memilih menghindar dengan cara klasik; dia alasan permisi untuk pergi ke toilet.
Sedangkan di kelas 12 IPS 2. Apakah Mamat memikirkan masalah pacar juga? Jawabannya; Iya. Dan ternyata Mamat memakai cara yang lebih ampuh bagi seorang jomblo yang gaul, yaitu pakai media sosial; Facebook dan Twitter. Hanya saja, tidak ada satu pun cewek yang sesuai dengan selera Mamat. Bagaimana dengan cewek-cewek di kelasnya? Ah, apalagi itu, cewek-cewek yang ada di kelasnya aneh-aneh semua. Ada yang namanya Surti, yang bau keteknya tidak bisa ditandingi oleh merek deodorant manapun. Ada juga Yuli, yang terobsesi punya pacar mirip Boyband Korea, Super Junior. Bahkan yang lebih freak lagi, ada Imah yang suka ngupil terus upilnya dijilat sendiri. Pokoknya, Mamat tidak menyukai semua cewek yang berasal dari kelasnya!
“Mat, lo mikirin apaan sih, daritadi celingak-celinguk merhatiin temen-temen cewek di kelas kita? Lo lagi ngelamun jorok ye?” bisik Fandi heran dengan tingkah teman sebangkunya itu.
“Bukan, Fan! Gue cuman mikir, kok di kelas kita gak ada cewek cakep yak. Cewek-cewek di kelas kita rada-rada gimanaaaa gitu...,” Mamat mengelus-elus kepalanya.
“Itu karena semua cewek cakep udah diserap di kelas IPS 5, Mat. Makanya, gue malah sempet kecewa dan nangis karena gak masuk ke kelas itu.”
“Oh gitu, sampai segitunya lo, Fan?” Mamat tertarik dengan pendapat Fandi. Dia menatap Fandi dengan ekspresi penasaran, alisnya berkerut sedemikian rupa seperti cacing lagi sakit perut. Eh, tunggu dulu, memangnya cacing punya perut?
“Iya, Mat..., tapi akhirnya gue seneng kok masuk ke kelas ini.”
“Kenapa?” Mamat makin heran.
“Karena gue bisa duduk di sebelah lo,” Fandi menepuk bahu Mamat.
Melihat ada yang mulai tidak beres dengan teman sebangkunya itu, Mamat terdiam sebentar sambil menelan ludahnya sendiri. Mamat tidak menyangka kalau selama ini teman sebangkunya itu ternyataaa…
“Tenang, Mat, gue bukan homo kok,” jelas Fandi.
Mamat akhirnya bernafas lega.
***
Bel tanda istirahat berbunyi. Seperti biasa, kantin Mbok Tuti yang tidak terlalu luas dan hanya dihiasi perabot rumahan sederhana—sebuah meja yang terbuat dari kayu sisa bangunan dan kursi kayu panjang yang juga bekas sisa bangunan di sisi baratnya itu menjadi tempat nongkrong Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan.
Keempatnya memesan es teh manis sambil berpikir keras. Kejombloan yang selama ini mereka sandang, telah merusak kosentrasi belajar mereka di kelas tadi pagi. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebagai orang pertama yang telah melahirkan kegalauan, Ikhsan akhirnya angkat suara duluan, “Aku punya ide! Bagimana kalau kita bikin komunitas jomblo di sekolah ini. Jadi, bagi siapapun yang jomblo, baik itu cewek maupun cowok, mereka bisa gabung dan bisa memilih pasangannya kalau mereka cocok! Dengan begitu kita juga bisa dapat pacar!”
Brilian! Ternyata bukan hanya badannya saja yang sebesar badan babon, tapi otaknya juga. Saran itu langsung disetujui sama yang lainnya.
“Terus, nama komunitasnya apaan?” tanya Ardi.
“Emang penting ya pakai nama komunitas segala?”
“Pentinglah Mat, sebagai identitas komunitas kita.”
“Gimana kalau Komlo, komunitas jomblo,” ucap Joko datar.
“Ah, tidak terlalu enak di dengar itu, dan aku rasa itu terlalu singkat. Lagi pula, kurasa itu mirip nama makanan juga...” balas Ikhsan sembari menyomot tahu isi punyanya.
“Itu combro, babon...,” teriak Joko.
Namun, ditengah-tengah keributan kecil itu. Ardi tiba-tiba mengeluarkan pendapatnya. Daritadi dong, Di!
“Gue punya ide, depannya kita pakai kata ikatan. Gimana?”
“Bagus juga tuh, Di. Ikatan Jomblo!”
“Tidak enak juga, Mat. Aku rasa juga terlalu singkat,” Ikhsan lagi-lagi tidak setuju.
Si Ikhsan ini hanya bisa protes aja kerjaannya, tapi tidak bisa kasih solusi pasti. Tidak mau terlalu lama mikir dan berdebat, akhirnya Ardi Googling dulu lewat hape pintar androidnya yang baru dua minggu lalu dibelikan sama Mami. Sementara itu, Mamat, Ikhsan dan Joko pun setia menunggu sambil makan gorengan.
“Gimana, Di? Ketemu tidak kau?” tanya Ikhsan dengan kondisi mulut penuh cabai dan gorengan.
“Hm... Gimana kalau Jomblo Junkies?” jawab Ardi sambil melihat hape-nya.
“Apaan tuh junkies, Di?” Joko penasaran. Saking penasarannya, Joko sampai tidak lihat lagi kalau tempe goreng dan tahu isi-nya dicomot oleh Ikhsan.
“Junkies itu berasal dari kata junkie, jadi kayak perilaku ketagihan atau kecanduan gitu. Ya, kayak pemakai yang sudah addict gitu lah…”
“Oh iya, gue ngerti. Jadi jomblo junkies tuh kayak orang-orang yang udah kecanduan dan kelamaan ngejomblo ya, Di?” pikir Joko.
“Bener, Ko. Jadi komunitas Jomblo junkies ini berdiri karena status kejombloan seseorang yang gak kunjung sembuh sehingga mereka jadi ketagihan dalam menjomblo!”
WUZZZZ…
Angin berhembus lumayan kencang dan daun-daun kering di sekitaran kantin berterbangan—seolah ikut mendramatisir suasana. Kata-kata yang barusan diucapkan Ardi membuat semuanya menjadi semangat. Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat pun berdiri dan saling bertatapan. Mereka kemudian saling mengepalkan tangan kanan ke atas, lalu berteriak, “Yeaaaaahh!!!!”
Dan resmi-lah sudah berdirinya Komunitas Jomblo Junkies dengan harapan memfasilitasi jomblo-jomblo di sekolah agar dapat pacar. Mantap.
Tapi kekacauan datang lagi, “Oiii..., tempe sama tahu isi gue mana!?” teriak Joko panik karena dia yang harus bayar sesuatu yang tidak dimakannya itu.
***
Joko kemudian mendesign layout brosur Jomblo Junkies sepulang sekolah di ruangan OSIS, sementara yang lain membantu dengan menyusun kata-kata yang pas. Semua bekerja sama, demi Jomblo Junkies dan para siswa-siswi yang masih jomblo. Iya, kejombloan di sekolah harus diberantas karena para pasangan di sana sudah tidak ada toleransi lagi dalam berpacaran. Bisa dibilang, orang-orang yang sudah punya pacar di sekolah tuh sudah semakin terbuka. Mereka berpegangan tangan, suap-suapan bakso, sampai ciken-ciken (baca: cium kening). Hal itu hanya akan membuat para jomblo patah hati dan terluka, bahkan beberapa kasus ada yang sampai peluk-peluk tembok saking terobsesinya punya pacar. Maka dari itu, inilah gunanya Komunitas Jomblo Junkies, agar para jomblo di sekolah bisa dapat pacar dan bisa saling menguatkan apabila masih ada anggota yang jomblo.
“Sip, selesai!” Joko mengambil kertas A4 yang baru saja keluar dari printer.
Dan, inilah isi brosur Jomblo Junkies:
------------------------------------------------------------------------------------------------------- Anda sudah bosan ngejomblo? Dan Anda ingin punya pacar yang membuat hidup anda lebih berwarna?
Gabung segera dengan KOMUNITAS JOMBLO JUNKIES!
Komunitas ini dapat menyembuhkan:
Penyakit jomblo kronis berkepanjangan.
Luka yang disebabkan oleh serangan orang-orang yang udah dapat pacar.
Krisis ketidakpercayaan diri terhadap lawan jenis.
Berminat? Mari bergabung dengan kami, para Jomblo Junkies!
Basecamp kami di taman belakang sekolah. Silahkan datang kesana (Jangan lupa bawa makanan sendiri).
------------------------------------------------------------------------------------------------------ Brosur tersebut kemudian dipegang oleh Mamat, “Hm..., bagus! Tapi, kok kayak brosur pengobatan alternatif gini ya?”
“Eh, Mamat si muka bohlam, biarin lah yang penting ada! Terus brosur itu mau kita tempel dimana, Ko?” tanya Ikhsan.
“Papan mading lah, dimana lagi coba?”
“Di papan mading? Oke, Aku setuju!!!”
Dengan api semangat yang berkobar-kobar, Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan pergi ke tempat papan mading yang berada di koridor depan pintu masuk sekolah. Tanpa pikir panjang lagi mereka menempelkan brosur Komunitas Jomblo Junkies disana.
Ardi kemudian melihat disekelilingnya, “Udah pada pulang, brosur kita pasti gak ada yang lihat dong entar?”.
“Ah kau ini macam mana, kan masih bisa dilihat besok. Lagian, nih kau lihat, di papan mading ini hanya ada brosur punya kita, jadi pasti dibaca-lah brosur kita ini.”
“Oh iya bener juga lo, San!” Ardi kembali mengatur rambut agar tetap eksis ke belakang memakai sisir kesayangannya.
“Ya udah kalau gitu, tempel sekarang, terus pulang! Kita tunggu deh kabar gembira besok!” tutup Mamat.
Sebuah ide besar yang nantinya akan menolong Ardi, Joko, Mamat dan Ikhsan serta siswa-siswi lain untuk mendapatkan pacar telah di-publish. Keempatnya kemudian balik ke rumah masing-masing dalam keadaan riang gembira.
Tapi, tidak lama kemudian tiba-tiba seorang Bapak-bapak dengan perawakan gemuk dan berkumis lebat layaknya karakter game Mario Bross, datang menghampiri papan madding yang sudah terlihat kusam dan lapuk itu. “Hah? Komunitas Jomblo Junkies? Ini apa sih….,” Bapak-bapak yang berumur sekitar 50-an tersebut melepaskan brosur Komunitas Jomblo Junkies. ”Ah, ternyata gak penting, ini kan gak ada hubungannya dengan kegiatan sekolah…,” ujarnya sambil melepaskan brosur yang sudah dibuat Ardi, Joko, Ikhsan dan Mamat.
“Pak, ganti papannya sekarang, ya! saya mau pulang!” sambungnya sambil teriak ke arah penjaga sekolah.
***
Buat yang masih penasaran sama lanjutannya, gue upload filenya tapi cuman sampai bab 4. Bisa di download DISINI.
Naskahnya sendiri belum final, masih mau di obok-obok lagi gaya bahasa dan peletakan-peletakannya. Tapi, secara garis besar seperti itu deh pokoknya.
Review-nya bisa ditumpahkan di komentar postingan ini atau twitter gue ya @febyandriawan. Nah, entar yang udah nge-review ini bakal gw catat siapa aja. Gue udah punya rencana kejutan untuk para reviewer terpilih! muahahaha...
- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Feb, bantu review yah. komentar ini didelete aja begitu kamu baca. biasanya editor baca naskah di bagian prolog, kalau klise, langsung disingkirkan. klise di sini maksudnya, penulis menghadirkan gaya penceritaan yang sama dengan kebanyakan penulis. dalam kasusmu, pembukaan naskahmu di atas masih termasuk kategori klise: anak2 telat ospek, adegan bangun tidur-berangkat sekolah, sudah terlalu banyak yg begitu.
ReplyDeletesebaiknya buka adegan novelmu dengan "beda", misal langsung begini di prolog:
Anda sudah bosan ngejomblo? Dan Anda ingin punya pacar yang membuat hidup anda lebih berwarna?
Gabung segera dengan KOMUNITAS JOMBLO JUNKIES!
Komunitas ini dapat menyembuhkan:
Penyakit jomblo kronis berkepanjangan.
Luka yang disebabkan oleh serangan orang-orang yang udah dapat pacar.
Krisis ketidakpercayaan diri terhadap lawan jenis.
Berminat? Mari bergabung dengan kami, para Jomblo Junkies!
Basecamp kami di taman belakang sekolah. Silahkan datang kesana (Jangan lupa bawa makanan sendiri).
------------------------------------------------------------------------------------------------------
lalu kamu ceritakan asal muasal komunitas tsb. dan bagaimana mereka berteman pas ospek.
gitu deh masukan dari saya. good luck buat naskahnya :)
Mantap! thanks ya mbak, emang ada pemikiran dari gw sama Riyan utk menghilangkan intro. Tapi dengan apa kita ganti masih bingung! hahaha..
Deleteyap benar...
Deletepikat pembaca dalam 5 menit pertama dan bikin penasaran ditengahnya, terakhir dibuat klimaks diakhirnya...
:)
@Dihas Enrico: Yoi broh, kalo penasaran di pertengahan sama kejutan-kejutan di belakang udah ada di bab2 yg gak di share di mari, rahasia dwong, haha... Awalnya ini yg masih dipikirin.. :D
DeleteSetuju banget sama komen diatas ini. Kalimat begitu buat editor muak, karena udah banyak banget dan gak ngikutin zaman. Good luck buat naskahnya.
DeleteOke gue nyerah bang
ReplyDeletePasalnya, ngedit naskah sendiri aja udah gak bisa lagi
Jangankan naskah orang
Hiks...
:'(
*Lagi berduka karena lagi2 naskah gantung*
Waduh, dia malah curhat, wkwkwk..
DeleteIde ceritanya bagus, tapi jangan sampai kayak sinetron nantinya. Gaya bahasanya masih kaku (maaf ya). Jadi terkesan membaca cerpen. Saya sendiri belum tentu bisa menulis cerita seperti itu. Tapi seandainya di olah lagi bahasa nya pasti lebih enak dibaca.
ReplyDeleteTrus kalau bisa ceritakan asal usul ke empat sahabat tadi, latar belakang mereka biar bisa menguatkan karakter para tokoh nya.
Untuk penggambaran nama tempat sebaiknya yang jelas, biar tidak berhenti sampai situ aja. Misal tadi si Ardi berangkat sekolah trus tiba-tiba sudah sampai sekolah. Meski jarak dekat bisa di pakai pengambaran keadaan lingkungan sekitar. Ada anjing atau kucing, suara burung atau apalah yang bisa membuat menjadi hidup dgn kehadiran makhluk hidup lainya atau ornamen benda mati lainya.
Trus pada saat di sekolah, tidak ada penggambaran sekolahanya seperti apa, bagaimana keadaan bangunan fisiknya. Bentuk gedung sekolahannya seperti apa? gedungnya tingkat apa tidak? Letak parkir motor di sekolah bagaimana? lapangan basket atau fasilitas sekolah apa saja, sehingga pembaca bisa ikut masuk merasakan keadaan/suasana di sekolah pada saat itu. Atau mungkin itu di ceritakan nanti di BAB berikutnya ya....
Maaf ya kalau komen saya kayak menggurui. Sejatinya saya sendiri manusia awam yg tidak sempurna. jadi komen ini murni dr hasil pemikiran saya setelah membaca sepenggal novel kamu.
Overall Ide ceritanya orisinil. Jangan ceritain tokoh utamanya saja yang di sorot. Trus genre nya Komedi Romantis kalau bisa sisipkan sedikit konflik yang terjadi di antara ke empat sahabat tadi dalam pencarian pacar. Biar pembaca tidak langsung menebak ending ceritanya. Buatlah pembaca menebak-nebak cerita selanjutnya. Apakah ke empat sahabat tadi dapat pacar semua sesuai yang di dambakan?
Semangat lanjutkan olah bahasanya. Semoga sukses ya kawan. maaf kalau baru nongol lagi ke dunia maya.
Buset panjang amat, haha.... Oh jadi gaya bahasa sama pendeskripsian intinya ya. Okeh.. thanks ya.. :D
DeleteFeb, perasaan naskah lu yang Detektif Ujang itu bagus deh. Itu aja diterusin. Prospeknya cerah, Bro. Intro-nya mantap, deskripsinya oke. Seriusan, itu aja dimajuin lagi ke penerbit konvensional. Come on!
ReplyDelete